CETTA – Cetta Online Class membuktikan kesuksesannya sebagai bimbingan belajar asing online dengan menorehkan popularitas dalam waktu singkat, tapatnya tidak lama ketika pandemi Covid-19 mulai menjangkit.
Founder Cetta, Arief Hidayatullah mengatakan awal mula berdiri berbagai departemen bahasa di Cetta.
“Cetta dimulai dari Departemen Bahasa Inggris yang pada saat itu kelas pertamanya berlangsung pada Mei 2020,” ujar sang founder Cetta, Arief Hidayatullah mengawali kisahnya.
Budaya Jepang di Mata Cetta, dan Pengaruhnya untuk Subkultur Indonesia
Pembukaan kelas pertama Cetta Online Class kala itu, lanjutnya, dilandasi sejumlah alasan.
Selain memanfaatkan peluang pergeseran sistem pembelajaran yang tadinya tatap muka beralih menjadi serba online, bahasa Inggris secara tertulis maupun lisan kini menjadi salah satu persyaratan kebutuhan skill yang diperlukan di dunia kerja.
Apalagi, rasa kepedulian Arief dan tim juga terdorong usai mengamati mayoritas tempat kursus terkena dampak pandemi.
Kunci Keberhasilan Pembelajaran Bahasa Jepang, Cetta Japanese
Akibat diliburkan di rumah, banyak siswa jadi tidak belajar apa-apa dan guru yang pekerjaan utamanya di sektor swasta turut berkurang penghasilannya.
Sebab itulah, Arief kemudian merancang lesson plan dan modul pembelajaran bahasa Inggris yang berbeda dari lembaga kursus lainnya.
Perbedaan mendasar Cetta English, kata Arief, terletak pada hubungan kedekatan antara tutor dengan siswa, konten yang dibuat di sosial media, gaya pembelajaran, dan terutama fokus pada meningkatkan kemampuan speaking.
Mengingat lebih banyak orang mempelajari teori tapi kurang praktik.
“Setelah semuanya jadi langsung coba promosi via Instagram dan banyak sekali teman-teman yang support,” kenang Arief.
Menyusul berdirinya Cetta English, berikutnya lahir Cetta Japanese, lalu Cetta Korean, dan terakhir Mandarin.
Menurut co-founder Cetta, Ali Akbar, setiap bahasa yang tersedia di Cetta merupakan bahasa potensial yang memang dibutuhkan, bukan hanya karena populer saat ini.
Pemahaman bahasa Jepang dan Korea, misalnya, kini semakin dibutuhkan karena selain menunjang kesempatan sekolah dan bekerja di kedua negara tersebut, tren dan budaya keduanya sudah mendunia bahkan meresap di Indonesia.
Khususnya dalam lingkup Cetta Korean, tambah Arief, sebanyak 52% siswa yang didominasi karyawan dan mahasiswa memilih belajar bahasa Korea sejak dasar hingga level menengah atas karena beragam alasan dan tujuan.
Mulai dari mempermudah pergaulan seperti untuk nonton drama, K-Pop, culture Korea, hingga liburan ke Korea, pun urusan pekerjaan dan pendidikan.
Terlebih lagi, selain materinya mudah dipahami, pembawaan “Ssaem”–sebutan pengajar di Cetta Korean– sangat menarik dan interaktif sehingga terjalin kedekatan dengan siswa.
Hal serupa juga berlaku untuk bahasa Mandarin. “Bahasa Mandarin sangat dibutuhkan karena pengaruh dari perang ekonomi antara Amerika dan China,” ungkap Ali.
Di luar itu, Ali menekankan ke depannya tak tertutup kemungkinan untuk turut membuka kelas bahasa Eropa seperti Perancis dan Jerman yang sama potensial.
Arief pun menambahkan bahwa Cetta konsisten berupaya lebih baik dengan mengusung moto “sedikit lebih beda lebih baik, daripada lebih baik”.
Moto tersebut merupakan quotes penulis buku bernama Seth Godin yang digaungkan oleh Pandji pragiwaksono dalam materi stand up Comedy-nya, untuk menunjukkan sesuatu yang tampil beda akan tampak unik dan menarik.***